Rabu, 12 Maret 2014

telik sandi


Pola dan Kinerja Intelijen Kiai
Oleh : Rijal Pakne Avisa
Menjelang peristiwa pertempuran 10 Nopember 1945, Kiai Abbas Buntet, Cirebon, membentuk jaringan telik sandi santri yang membentang dari Cirebon ke arah timur hingga Surabaya. Dalam bentangan jaringan teliksandi inilah, koordinasi antar lini barisan Mujahidin (mustasyar-nya Hizbullah dan Sabilillah) bisa terjalin (jujur, saya lupa referensinya).
Bahkan, Mbah Hasyim Asy'ari dalam fase genting menjelang meletusnya pertempuran ini belum mengeluarkan keputusan, kecuali setelah berkoordinasi lebih dulu dengan Kiai Abbas.
Kiai Wahid Hasyim juga tak kalah dalam kinerja spionase ini. Kiai Wahid memiliki santri andalan bernama Yusuf yang bertindak sebagai penghubung dan kurir rahasia. Kinerja Yusuf diakui oleh KH. Saifuddin Zuhri. Dalam masa perang kemerdekaan itu, Kiai Saifuddin bergerilya dan sempat singgah di rumah kiai sepuh di pedalaman. Herannya, Yusuf si kurir Kiai Wahid Hasyim itu berhasil mengendus jejaknya. Yusuf inilah yang menjadi kunci penghubung jaringan kader yang dibina Kiai Wahid Hasyim bin Hasyim Asyari. Yusuf pantas digelari Laison Officer [hahaha].
Kiai Wahid Hasyim, ayah Gus Dur, pada era perang kemerdekaan belum menyentuh usia 35 tahun, tapi ia menunjukkan potensi di atas rata-rata. Husein alias Tan Malaka, sosok yang paling diburu dinas intelijen Hindia Belanda (SAD-PID) dan intelijen militer Jepang, beberapa kali malah berkunjung ke kediaman Kiai Wahid.
Mengenai ilmu intelijen ini, Kiai Wahid menuturkan kepada Kiai Saifuddin Zuhri: "Meski saya bukan pemimpin besar, tetapi saya mempunyai mata 'seribu kurang seratus' dan telinga 'seribu kurang seratus',". Maksudnya, menurut Kiai Saifuddin, pemimpin harus mempunyai seribu mata dan seribu telinga. Artinya, pemimpin mesti banyak melihat dan mendengar melalui berbagai saluran yang tidak dimiliki oleh sembarang orang.
Lalu, bukankah dalam dunia spionase ada istilah 'Safe House'? Tentu saja Kiai Wahid dan jaringannya punya 'Safe House', di antaranya: rumah Kiai Abdurrazaq di Mampang, rumah Kiai Muhammad Naim di Cipete, rumah Kiai Hasbiallah di Mender, rumah Kiai Baqir di Rawabangke, dan beberapa nama lain.
Kenapa Safe House-nya di Jakarta? Bukankah ini sama halnya bunuh diri karena Jakarta dikuasai Belanda? Tidak, Kiai Wahid dengan cerdik menggunakan Teori Komunis Stalinis, "Jika kita pencuri yang sedang diburu polisi, tempat yang paling aman untuk bersembunyi adalah kantor polisi!"
Kiai Saifuddin Zuhri, yang dikader oleh Kiai Wahid, hanya bisa terkagum-kagum melihat strategi mentornya.
Wallahu A'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar