Jika Anda ditanya siapakah atau seperti apakah laki Laki Sejati yang mampu memuaskan pasangannya? maka jawabannya akan berbeda di setiap kepala.
Sedangkan definisi dari “Memuaskan” itu saja bisa berbeda pula, ada yang menjawab seperti ini:
Laki laki sejati tidak berpikir tentang diri sendiri. Laki laki sejati melakukan sesuatu untuk apa yang mereka percaya,
bertanggung jawab atas tindakannya, membantu orang lain, percaya diri,
fisik kuat, memiliki rasa humor, murah hati, jujur, dan perhatian.
Pria sejati memberikan rasa keamanan, berani dan tidak perlu pamer.
Kita tahu hal itu tidak bisa dikatakan sebagai definisi Laki Laki Sejati, uraian diatas hanya merupakan penyebutan sebagaian saja sifat Laki Laki yang di ingini.
Saking sulitnya mendefinisikan laki Laki Sejati, sampai ada yang menuangkan dalam bentuk puisi seperti dibawah ini:
Laki-laki sejati bukanlah dilihat dari bahunya yang kekarTetapi dari kasih sayangnya pada orang sekitar.
Laki-laki sejati bukanlah dilihat dari suaranya yang lantang
Tetapi dari kelembutannya mengatakan kebenaran.
Laki-laki sejati bukanlah dilihat dari jumlah sahabat di sekitarnya
Tetapi dari sikap bersahabatnya dengan generasi muda bangsa.
Laki-laki sejati bukanlah bukanlah dilihat daribagaimana dia dihormati di tempat bekerja
Tetapi dari bagaimana dia dihormati di rumah tangga.
Laki-laki sejati bukanlah dilihat dari kerasnya pukulan
Tetapi dari sikap bijaknya memahami persoalan.
Laki-laki sejati bukanlah dilihat dari dadanya yang bidang
Tetapi dari hati yang ada di balik itu.
Laki-laki sejati bukanlah dilihat dari banyaknya wanita yang memuja
Tetapi komitmenya terhadap wanita yang dicintainya.
Laki-laki sejati bukanlah dilihat dari barbel yang dibebankan
Tetapi dari tabahnya dia menghadapi lika-liku kehidupan
Laki-laki sejati bukanlah dilihat dari kerasnya membaca kitab suci
Tetapi dari konsistennya dia menjalankan apa yang ia baca.
Terlepas dari beragam pandangan tentang Laki Laki Sejati,
kisah dan biografi perjuangan seorang laki laki di bawah ini mungkin
saja akan membuat semacam dorongan untuk lebih bersemangat dalam
memperjuangkan cita cita, silahkan dibaca sebagai berikut:
KH.
Nawawi Abdul Aziz lahir pada tahun 1925. Beliau merupakan putra kedua
dari Al Maghfurlah KH. Abdul Aziz, seorang petani yang tinggal di
pelosok desa di daerah Kawedanan yang terkenal yaitu Kutoarjo tepatnya
di desa Tulusrejo Grabag Kutoarjo Purworejo Jawa Tengah.
Karir
keilmuan Beliau dirintis sejak beliau berumur tujuh tahun. Hari-hari
beliau selalu dihiasi dengan berbagai kegiatan Tholabul ‘ilmi. Pagi hari
Beliau belajar di Sekolah Dasar ( SR-red ) dan sorenya Beliau mengikuti
Madrasah Diniyah Al Islam Jono. Sedangkan pada malam hari, Beliau
mengaji Al Qur’an kepada sang Ayah dan juga beberapa disiplin ilmu
seperti Ilmu Fiqh dan Ushuluddin.
Setelah Beliau berumur 13 tahun,
Beliau meneruskan pengembaraannya ke Pondok Pesantren Lirap Kebumen
Jawa Tengah untuk mengaji Ilmu Alat kepada Al Maghfurlah KH. Anshori
selama 4 tahun. Kemudian setelah dirasa cukup, Beliau ditarik oleh Orang
tua Beliau untuk selanjutnya diantar bersama kakak ke Pondok Pesantren
Tugung Banyuwangi di bawah asuhan Al Maghfurlah KH. Abbas yang pada saat
itu Indonesia masih dijajah oleh Jepang.
Setelah
beberapa tahun menimba ilmu di sana, seperti Pemuda yang lainnya,
Beliau merasa ingin sekali pulang ke kampung halaman sekedar melepaskan
rasa rindu kepada keluarga. Untuk itulah, dua bulan setelah Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia dikumandangakan, beliau pulang ke
Kutoarjo. Tetapi bak pepatah, “ untung tak dapat diraih, malang tak
dapat ditolak ”, sebelum Beliau sempat kembali ke Pondok, serdadu
Belanda dengan membonceng tentara Inggris mendarat di Surabaya dan
menjarah Jawa TImur. Maka pupuslah harapan untuk kembali ke Pondok dan
terpisahlah Beliau dengan Kakak yang masih di Banyuwangi.
Keadaan
telah berubah, seluruh kitab yang dimiliki Beliau tertinggal di
Banyuwangi. Tetapi hal tersebut tidak membuat Beliau patah semangat
bahkan sebaliknya, Beliau semakin semangat dalam menuntut ilmu yang
Beliau wujudkan dengan kembali mondok untuk menghafalkan Al Qur’an ke
sebuah Pondok Pesantren di Yogyakarta tepatnya di Pondok Krapyak yang
didirikan oleh Al Maghfurlah KH. Munawwir yang pada saat itu diasuh oleh
Al Maghfurlah KH. R Abdul Qodir Munawwir. Nasehat, tausiah dan irsyad
dari Al Maghfurlah KH.R Abdul Qodir M Beliau ikuti dan patuhi dengan
ikhlas dan tekun, sehingga dalam waktu tiga bulan, Beliau berhasil
menghafal tujuh juz setengah dengan hafalan yang sangat baik. Disaat
Beliau sedang menikmati dan melatih keistiqomahan diri dalam menghafal
dan menjaga Al Qur’an, tanpa diduga terdengar berondongan peluru
mitraliur yang menghujani langit Yogyakarta yang disertai dengan
diterjunkannya pasukan Belanda di lapangan terbang Maguo ( kini
Adisucipto ) sebagai tanda dimulainya class kedua ( duurstuud ). Hari
itu pula Beliau dan ketujuh orang temannya pulang ke kampung halaman (
Kutoarjo ) dengan berjalan kaki. Di rumah, Beliau tetap menjaga hafalan
Al Qur’an yang telah didapat dan menambah hafalan walaupun harus ikut
serta membantu para gerilyawan.
Setelah
Yogayakarta aman kembali ( sekitar enam bulan ), Beliau kembali ke
Krapyak untuk melajutkan tekatnya. Dengan berkat rahmat dari Allah SWT
disertai dengan anugrah keistiqomahan yang Beliau miliki, Beliau
mampu menyelesaikan hafalan dalam 15 bulan dengan hasil yang sangat
memuaskan sehingga wajar saja jika Guru Beliau sangat menyayangi Beliau,
bahkan sebagai puncak dari kasih sayang tersebut, Beliau diamanahi
untuk menikahi adik sang Guru ( Al Maghfurlah KH.R Abdul Qodir Munawwir )
yang bernama Ibu Nyai Hj. Walidah Munawwir ( putri dari Al Maghfurlah
KH Munawwir Pendiri Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta ).
Pengembaraan beliau tidak berhenti sampai di sini, setelah mendapat restu dari sang Guru sekaligus Kakak, pada hari ketujuh puluh dari hari kelahiran putra pertamanya, Beliau berangkat ke Pondok Pesantren Yanbu’ul Qur’an Kudus untuk mengaji Al Qur’an dengan Qiroah As Sab’ah kepada Al Maghfurlah KH. Arwani Amin. Pada tahun 1955 M beliau berhasil menyelesaikan pelajaran dengan baik dan menerima Syahadah/Ijazah khatam mengaji Qiro’ah As Sab’ah secara hafalan kepada Al Maghfurlah KH. Arwani Amin Kudus.
Setelah selesai belajar di Kudus, Beliau memutuskan untuk kembali ke Kutoarjo untuk mengajarkan ilmu yang pernah didapat dan juga untuk membantu Orang tua yang telah menapaki usia senja. Di sana Beliau membuka pengajian Al Qur’an dan Madrasah Ibtidaiyah kelas I yang hanya dibantu oleh seorang tenaga pengajar sekaligus sebagai pengurusnya. Keterbatasan pengajar, tidaklah menjadi halangan bagi Beliau untuk berjuang dalam menyebarkan ilmu Agama. Beliau mensiasatinya dengan mengkader semua siswa sehingga siswa-siswi yang duduk di kelas IV sudah mampu untuk mengajar adik-adik kelas satu dan dua.
KH.R
Abdul Qodir Munawwir pemegang tampuk kepemimpinan Pondok Krapyak wafat,
yang kemudian digantikan oleh KH.R Abdullah Affandi Munawwir . Pada saat
itulah Beliau ( KH. Nawawi Abdul Aziz ) dipanggil untuk membantu
mengajarkan Al Qur’an di Pondok Pesantren Krapyak, Bersama dengan Al
Maghfurlah KH. Mufid Mas’ud ( Pengasuh Pondok Pesantren Sunan Pandanaran
) dan Al Maghfurlah KH. Ali Ma’sum. Pembagian tugas dilakukan oleh KH.R
Abdullah Affandi Munawwir sebagai pengasuh utama, KH. Ali Ma’sum
bertanggungjawab atas pengajaran kitab sedangkan Beliau dan KH. Mufid
Mas’ud memegang pengajaran Al Qur’an.Pengembaraan beliau tidak berhenti sampai di sini, setelah mendapat restu dari sang Guru sekaligus Kakak, pada hari ketujuh puluh dari hari kelahiran putra pertamanya, Beliau berangkat ke Pondok Pesantren Yanbu’ul Qur’an Kudus untuk mengaji Al Qur’an dengan Qiroah As Sab’ah kepada Al Maghfurlah KH. Arwani Amin. Pada tahun 1955 M beliau berhasil menyelesaikan pelajaran dengan baik dan menerima Syahadah/Ijazah khatam mengaji Qiro’ah As Sab’ah secara hafalan kepada Al Maghfurlah KH. Arwani Amin Kudus.
Setelah selesai belajar di Kudus, Beliau memutuskan untuk kembali ke Kutoarjo untuk mengajarkan ilmu yang pernah didapat dan juga untuk membantu Orang tua yang telah menapaki usia senja. Di sana Beliau membuka pengajian Al Qur’an dan Madrasah Ibtidaiyah kelas I yang hanya dibantu oleh seorang tenaga pengajar sekaligus sebagai pengurusnya. Keterbatasan pengajar, tidaklah menjadi halangan bagi Beliau untuk berjuang dalam menyebarkan ilmu Agama. Beliau mensiasatinya dengan mengkader semua siswa sehingga siswa-siswi yang duduk di kelas IV sudah mampu untuk mengajar adik-adik kelas satu dan dua.
Setelah dua tahun tinggal di Krapyak, timbullah keinginan untuk pindah ke Dusun Ngrukem guna lebih dekat dari tempat Beliau berkerja sebagai Ketua Hakim Pengadilan Agama Bantul dan juga didorong oleh keinginan untuk mendirikan Pondok Pesantren sendiri, dan berkat Ridlo dari Allah SWT, beliau mampu mewujudka cita-cita Beliau untuk membangun Pondok Pesantren yang sampai saat ini masih eksis berdiri. Sekarang umur beliau telah mencapai 83 tahun dan telah dikaruniai 11 putra/putri dan 49 cucu serta 1 buyut, walaupun demikian Allah SWT masih meberikan nikmat sehat yang begitu besar sehingga di usianya yang senja Beliau masih kuat dalam membimbing sekitar 700 santri untuk mencapai derajat yang mulia secara langsung. Allahumma thowwil ‘umrohu wa shohhih jasadahu linantafi’a bi’ulumihi wa hikamihi. Amin . . .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar