Selasa, 12 Juni 2012

As-Syadziliy


Suatu hari, Syaikh Abul ‘Abbas Al-Mursiy, merupakan guru dari Syaikh Ibnu ‘Atho-illah As-Sakandariy (Penyusun Kitab Al-Hikam, Lathoiful Minan), sedang shalat Shubuh berjama’ah dengan gurunya, yakni Syaikh Abu Hasan As-Syadziliy. Mereka semua adalah para waliyullah yang agung.
Dalam shalat itu, Sang Guru membaca surah As-Syuura, surah ke- 42 dalam Al-Quran. Lalu sampailah bacaan Sang Guru pada ayat ke-49;



“Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki.”

Nah, Syaikh Abul ‘Abbas yang sedang mendengarkan dengan seksama bacaan Sang Guru, dalam hatinya ia menafsirkan ayat tersebut. Menurutnya, yang dimaksud dengan lafadz “Inaatsaa” (Anak-anak Perempuan) dalam ayat tersebut bermakna “Amal Shaleh dan Kebaikan”, sedangkan yang dimaksud dengan lafadz “Dzukuuro” (Anak-anak Lelaki) adalah “Ilmu”.

Lantas Sang Guru melanjutkan ayat selanjutnya, ayat ke-50 dari surah As-Syuura;



“… atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa) yang dikehendaki-Nya, dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha mengetahui lagi Maha Kuasa.”

Lagi-lagi Syaikh Abul ‘Abbas menafsirkan ayat ini, menurut beliau, yang dimaksud dengan “Dzukroonaw wa Inaatsaa” (Anak-anak Lelaki dan Anak-anak Perempuan) adalah “Ilmu dan Amal Shaleh” (susunannya adalah Ilmu lalu Amal Shaleh, padahal ayat sebelumnya menyebutkan amal shaleh dulu, baru kemudian ilmu). Kemudian yang dimaksud dengan lafadz “’Aqiimaa” (orang yang mandul) adalah “Orang yang Tidak Berilmu dan Tidak Beramal Shaleh”.

Maka, dari penafsiran Syaikh Abul ‘Abbas Al-Mursiy dalam shalat shubuhnya ini, manusia terbagi menjadi 4 menurut surah As-Syuura ayat 49-50. Yakni; Orang yang dianugerahi dapat Beramal Shaleh oleh Allah, kemudian Orang yang dianugerahi Ilmu Pengetahuan tentang Allah dalam hatinya, ada juga yang dianugerahi Ilmu dan dituntun oleh-Nya untuk beramal shaleh, namun ada juga yang paling malang yakni yang “mandul” alias tak berilmu juga tak beramal shaleh.

Dengan pemahaman yang sedemikian dalam ini, Syaikh Abul ‘Abbas Al-Mursi tenggelam dalam shalatnya, merenungi di manakah posisinya, apakah termasuk golongan pertama, kedua, ketiga, atau keempat, a’udzubillah…

Beginilah keadaan seorang Waliyullah dalam shalatnya, diberi suatu pengetahuan yang tidak didapatkan di bangku madrasah, tidak tercakup dalam kitab ulama, dan tidak terucap dari lisan para hukama… Ilmu yang semacam cahaya ini, Ilham Rabbaniy ini, rizqi batiniyyah ini, diturunkan oleh Allah ke dalam hati yang suci dalam keadaan yang tak dapat diduga-duga, min khaytsu laa yakhtasib.

Shalat Shubuh pun usai. Setelah shalat, Syaikh Abu Hasan As-Syadziliy menghampiri muridnya ini dan berkata;

“Aku mengetahui segala pemahaman yang engkau dapatkan dalam shalat tadi, dan semua yang kau dapatkan itu adalah BENAR.”

Syaikh Abul ‘Abbas terkesima dan bergumam dalam hatinya, “’Ajibtu! Luar biasa, guruku ini mengetahui hal yang sangat halus di dalam hatiku, padahal ia pun sedang shalat..”

Belum sempat berpikir, Sang Guru lagi-lagi berkata;

“Engkau tak usah heran terhadap pengetahuanku ini. Sungguh, sebenarnya, semua hati setiap orang yang bermakmum shalat kepadaku tadi, aku mengetahuinya! Dan aku tahu pemahaman maupun penafsiran ayat yang didapatkan oleh mereka masing-masing.”

Beginilah keadaan guru dari waliyullah yang agung, Syaikh Abu Hasan As-Syadziliy, tersingkap baginya tabir-tabir yang tak terlihat. Ilmu mereka merupakan cahaya yang bisa menembus segala yang tertutup, termasuk hal-hal bathiniyyah.

Adapun ilmu yang mereka dapatkan ini, merupakan buah ittiba’ (mengikuti) jejak pribadi Rasulullah saw.
Suatu hari, Syaikh Abu Yazid Al-Busthami (beliau adalah guru dari Syaikh Abu Hasan As-Syadzili yang kita kagumi tadi) sedang berjalan kaki menyusuri suatu gang, ternyata di belakangnya ada seorang murid yang mengikutinya. Uniknya, si murid melangkahkan kakinya persis menapaki jejak yang diinjak oleh telapak kaki gurunya.

Menyadari hal ini, Syaikh Abu Yazid menoleh dan bertanya kepada muridnya itu;

“Hai! Apa yang sedang kau lakukan?”

“Duhai Guru, aku sedang ngalap keberkahan dengan langkah kakimu, aku berharap semoga Allah berkenan menganugerahkan ilmu kepadaku sebagaimana yang Dia anugerahkan kepadamu.” Jawab si murid.

“Yaa Waladi, andaikan kulit yang menempel di dagingku ini dikelupas, lalu dipakaikan ke tubuhmu sekalipun, engkau tak akan mendapatkan apa yang kau harapkan itu! Terkecuali jika engkau betul-betul mengikuti ‘jejakku’, berupa amal perbuatan yang kucontoh dari perilaku Nabi Muhammad saw.”

Syaikh Abu Yazid pernah berkata; “Aku ini tenggelam dalam lautan ilmu, sedangkan para Nabi dan Rasul berdiri di tepian pantainya.”
Banyak ulama yang tidak cocok dengan ucapan beliau ini, seakan-akan meremehkan derajat para nabi dan menyombongkan dirinya sendiri.

Namun Syaikh Abul ‘Abbas berkata lain, “Betul yang diucapkan beliau itu, artinya, beliau yang sealim dan searif itu baru tenggelam dalam lautan ilmu, sedangkan para Nabi dan Rasul sudah ‘lulus’ dari Lautan Ilmu itu.”

Bahkan pernah juga Syaikh Abu Yazid berkata; “Sayang martabatku tidak kan dapat sempurna, jikalau sempurna, maka aku akan setara dengan para Nabi dan Rasul, namun itu tak kan pernah terjadi sampai kapan pun dan bagi siapa pun.”

Menyikapi maqalah Syaikh Abu Yazid ini, seseorang bertanya kepada Syaikh ‘Abdul Qadir Al-Jaylani;
“Yaa Syaikh, apakah Syaikh Abu Yazid itu menduduki derajat Wali Quthb?”

“Tidak, beliau itu belum sampai kepada derajat Wali Quthb. Namun derajatnya adalah sebagai Hajib (Tabir) antara Allah dengan orang yang ingin ‘menuju’ Allah. Tidak ada yang bisa sampai ma’rifah kepada Allah jika belum direstui oleh Syaikh Abu Yazid.”

Perihal Wali Quthb ini, merupakan derajat wali yang tertinggi, derajat waliyullah yang ‘menguasai’ 12 alam, padahal LUASNYA Langit dan Bumi ini terhitung SATU alam, lalu bagaimana halnya dengan 12 alam itu??? Hanya orang-orang yang Allah Ta’ala kehendaki lah yang tahu. Sedangkan jumlah keseluruhan alam yang Allah Ta’ala ciptakan seluruhnya ada 18.000 alam! Hanya 12 yang Allah ‘kuasakan’ kepada wali-Nya, sedangkan sisanya… Wallahu A’lam.

Semua yang tercantum di atas, ‘hanyalah’ gambaran ILMU yang dimiliki para Waliyullah, yang menempati masa taabi’in atau bahkan taabi’ut taabi’iin. Lalu bagaimana keluasan ilmu PARA SHAHABAT??? Orang-orang yang bersentuhan langsung dengan Rasulullah saw.??? Lalu bagaimana dengan HAL yang dimiliki oleh rasulullah sendiri???

***

Suatu hari Rasulullah saw. baru pulang dari suatu tempat. Istri beliau, Sayyidah ‘Aisyah rha. bertanya dari manakah Rasulullah pergi? Rasulullah saw. menjawab bahwa beliau baru pulang dari salah satu alam ciptaan Allah, salah satu alam ghaib. Suatu alam yang penduduknya berwajah kuning pucat, akibat kerasnya ibadah mereka di malam hari dan puasa mereka di siang hari, makanan mereka hanyalah dedaunan sejenis sawi, mereka adalah pengikut Nabiyullah Musa yang taat dan dipindahkan ke alam itu saat diselamatkan dari kejaran Fir’aun.

Setahun sekali di antara mereka ada yang meninggal, maka Rasulullah bertakziyah dan menshalatinya. Saat akan pulang, di sana terjadi hujan, menyebabkan baju dan sorban Rasulullah saw. tetap basah sesampainya beliau di rumah dan bertemu istrinya.

Kisah ini hanya salah satu gambaran Pengetahuan macam apa yang dianugerahkan oleh Allah Ta’ala kepada Utusan-Nya, penghulu alam semesta, Sayyiduna Muhammad saw., dan hal-hal seperti ini hanya akan membekas dalam hati orang yang beriman terhadap Ke-Mahakuasa-an Allah swt.

Bukan berarti hal yang tidak kita tahu itu berarti tidak ada, justru karena kebodohan kitalah yang tidak mengetahuinya. Seseorang kadang bermusuhan terhadap apa yang tidak diketahuinya, termasuk alam gaib dan hal-hal yang Allah singkapkan kepada para Kekasih-Nya.

***

Dahulu, ada seorang ulama tanah Betawi, KH ‘Abdul Madjid namanya, satu generasi lebih tua dari KH Muhammad Syafi’i Hadzami. Beliau, KH ‘Abdul Madjid ini, tiap malam Jum’at tak pernah di rumah, tak pernah pula terlihat di masjid, tak pernah pula terihat srawung dengan masyarakat, khusus di malam Jum’at. Konon, hal ini adalah ‘tradisi’ yang diwarisinya dari sang ayah.

Waktu kecil, Kyai ‘Abdul Madjid pun tak pernah mendapati ayahandanya setiap malam Jum’at. Karena penasaran, suatu malam ia mengendap memasuki kamar khusus milik ayahnya, menunggu sampai sang ayah pulang. Menjelang pagi, pintu tak nian terbuka, jendela pun tetap tertutup, namun yang Kyai ‘Abdul Madjid kecil lihat adalah sosok ayahandanya yang turun, terbang, menghampirinya, menembus langit-langit kamar.

Entah apa yang tersirat di benak Kyai ‘Abdul Madjid kecil, yang jelas saat itu sang ayah menghardiknya, “Aduh, berani-beraninye elu masuk kamar abah tanpa ijin???”

“Maaf Abah, habisnye, aye penasaran, tiap malem Jum’at Abah ngilang.” Jawab ‘Abdul Madjid kecil, gemetar.

“Ya udah, tapi selama abah masih idup, jangan ceritain hal ini same siapapun! Tiap malam Jum’at abah pergi ke ‘langit’, namanye alam Jabal Qaf. Di sane berkumpul para waliyullah dari seluruh penjuru bumi. Elu diem aje, jangan cerite-cerite same orang, paham?” Jawab sang ayah setengah berbisik.

Kyai ‘Abdul Madjid kecil pun hanya bisa mengangguk tanda mengerti.

Ketika dewasa, beliau dikenal sebagai seorang ulama besar tanah Betawi. Konon, beliau setiap kali didaulat membaca rawi, misalkan Maulid Barzanjiy, lidah beliau kelu, tidak fasih sama sekali, seperti orang yang baru belajar membaca tulisan arab. Sehingga banyak orang yang suudzann dengan beliau. Namun, sebelum mereka melanjutkan prasangka buruknya, KH ‘Abdul Madjid menjelaskan;
“Tiap saat lidahku terbiasa bergerak untuk melantunkan Ayat Allah (Al-Quran), maka jadi susah bagiku untuk membaca bersama bacaan yang lain.”

***

Beginilah ILMU yang tertancap dalam hati Kekasih Allah, namun semua itu, tidak ada sedikit pun menyaingi ILMU dalam dada Rasulullah saw.

Syaikh Abu Yazid Al-Busthami berkata,

“Apa yang didapatkan para wali adalah hal-hal yang juga didapatkan para Nabi terdahulu. Namun, bila diibaratkan, ada satu gentong besar berisi madu yang kebetulan bocor dan terpancar sedikit madunya keluar, lantas bocoran kecil itu ditutup agar madu tidak habis. Nah, tetesan madu yang sempat keluar dari bocoran gentong itu adalah umpama ILMU SELURUH WALIYULLAH, sedangkan sisanya yang masih berada dalam gentong adalah JATAH ILMU BAGI PARA NABI.”

Itu bila ilmu para wali dibandingkan dengan para Nabi, sedangkan perbandingan Ilmu Para Nabi dengan pemimpin mereka, yakni Sayyiduna Rasulillah, adalah seperti apa yang diumpamakan oleh Syaikh

Muhammad Al-Bushiri dalam bait syairnya (Burdah);

"Seluruh nabi itu meminta bagian dari diri rasulullah saw. hanya seciduk ilmu dari lautan ilmu beliau, dan setetes akhlaq hujan deras budi pekerti beliau.."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar