Selasa, 12 Juni 2012

mari berShalawat

Membumikan Shalawat Tak Sekedar Mendendangkan Shalawat

Euforia Maulid selalu terasa di bumi Indonesia, entah itu bulan Safar, bulan Haji, bulan Muharram, bahkan bulan Ramadhan sekalipun.. Terlebih pada bulan istimewa ini, bulan Rabi'ul Awwal -yang secara bahasa berarti "Bulan Pertama Musim Semi"- yang di dalam bulan inilah, Rasulullah saw. dilahirkan.

Satu Majelis Maulid Nabi di Pesantren Krapyak, Yogyakarta (Nampak al-Habib Syech bin Abdul Qadir as-Segaf Solo)
Namun saya tidak akan membicarakan tentang bulan Rabi'ul Awwal serta kaitan historisnya dengan peristiwa-peristiwa ajaib menyangkut kelahiran Rasulullah, tidak, karena itu terlalu tinggi buat saya.. dan hal-hal itu bisa kita baca lengkap di buku-buku siroh nabawiyyah semisal Kitab Siroh Sayyidina Rasululillah-nya Ibnu Hisyam, atau Ar-Rahiq al-Makhtum-nya al-Mubarokpuri, atau mungkin yang kontemporer semisal susunan Syekh Abul Hasan an-Nadwi, atau yang berbentuk prosa sastrawi seperti 'Iqdul Jawahir-nya al-Barzanji atau Simthud Duror-nya al-Habsyi.

Kita hanya akan sedikit 'ndopok' tentang hal yang menjadi ruh Maulid Nabi, yakni Shalawat.. ya, Shalawat..

Namun di sini saya tidak akan menelaah dalil shalawat, keutamaan, fadhilah, atau karya-karya ulama tentang shalawat, tidak, karena itu terlalu tinggi buat saya.. dan betapa banyak para ulama yang sudah menulis seluk-beluk shalawat, dari yang bersifat ilmiah sampai yang beraroma mistis, seperti Sa'adatud Daroin oleh an-Nabhani, al-Qoulul Badi'-nya as-Sakhowi, Masalikul Hunafa-nya al-Qasthalani, atau mungkin ad-Durrul Mandhud-nya Ibnu Hajar al-Makki, semuanya sudah ada, tinggal dibaca.

Saya hanya akan menyinggung sedikit tentang hal yang paling sederhana dari Shalawat, hal yang bisa saya jangkau dengan kapasitas pengetahuan yang amat terbatas, yakni tentang 'pengertian' shalawat..

Namun saya tidak akan mengupas asal-usul istilah 'shalawat' dari sisi gramatika yang rumit, nahwu-shorof, manthiq-balaghah, atau apalah itu.. lagi-lagi karena itu terlalu tinggi buat saya..

Lalu, apa yang hendak saya bicarakan?

Saya hanya sedang teringat tulisan as-Sayyid Muhammad bin Ahmad asy-Syathiri di dalam risalah tipis beliau Asroru Shalawatil Khams (sepertinya sudah ada terjemahannya, berjudul "Rahasia & Hikmah Shalat Lima Waktu") yang menyatakan bahwa, asal-usul kata "Shalat" berakar pada kata "Shilah" yang berarti "hubungan".

Nah, kita tahu, secara bahasa kata "shalawat" merupakan bentuk plural dari kata "shalat", sebagaimana kita baca di dalam al-Quran surah al-Baqoroh ayat 238;
"Khaafidzuu 'alas SHALAWAATI was SHALAT al-wustho.. (jagalah shalat-shalat (lima waktu) dan shalat pertengahan (Ashar).."

Sedangkan secara istilah kita sudah tahu, bahwa "Shalat" merupakan ibadah dengan rukun-rukun tertentu yang dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam. Dan tentu kita mafhum, bahwa ibadah shalat lima waktu inilah yang menjadi "penghubung", "media", atau "ruang- dan-momen-cinta" antara kita dengan Dzat Mahaesa yang kita sembah, Allah Ta'ala.

Nah itu tadi pengertian Shalat yang fokus terhadap hubungan kita dengan Allah. Adapun istilah "shalat" jika berfokus pada hubungan kita dengan Nabi Muhammad saw., bermakna "mendoakan", yakni memohonkan rahmat dan kedamaian kepada Allah atas Nabi Muhammad saw. dengan ucapan "Shollallahu 'Ala Muhammad", "Allahumma Sholli 'Ala Sayyidina Muhammad" atau berbagai macam sighot sholawat yang lain.

Lhoh, apakah itu berarti Rasulullah belum mencapai kesempurnaan rahmat dan kedamaian? sampai-sampai beliau didoakan oleh umatnya? tentu bukan begitu maksudnya.. justru hal ini menunjukkan ketidakterbatasan Kekuasaan dan Karunia Allah, yang Mahamampu memberikan kesempurnaan yang lebih dan lebih kepada seorang makhluk yang sudah mencapai kesempurnaan, al-Insan al-Kamil..

Jadi, seperti pernyataan; memang surga tertinggi itu Firdaus namanya, tetapi Allah Ta'ala tentu Mahamampu menawarkan kenikmatan yang melebihi kenikmatan firdaus itu.

Namun seperti yang saya kemukakan di atas, bukan hal ini yang akan akan kita bicarakan. Kita hanya akan menggarisbawahi akar kata Shalat dan Shalawat ini, yakni "Shilah" alias"Hubungan".

Coba cermati, kedua istilah yang menjadi simbol interaksi antara kita dengan Allah (Shalat) dan antara kita dengan Rasulullah (Shalat, yang kemudian lebih populer dengan bentuk jamaknya, yakni Shalawat) sama-sama bermakna "Hubungan".

Apa artinya? Artinya kewajiban Shalat lima waktu itu bukan sekedar suatu ibadah rutin yang bersifat instruktif dari atasan kepada bawahan, melainkan lebih bersifat emosional.. yakni Hubungan.. antara seseorang dengan kekasih yang dirindukannya.

Betapa getolnya Allah Ta'ala mewanti-wanti kita untuk senantiasa menjaga hubungan dengan-Nya melalui media shalat ini, supaya kita selalu terpaut dengan-Nya tiap waktu dalam setiap kesibukan kita, istilahnya almaghfur-lah Gus Dur dalam syi'irnya; "karo Pangeran kudu rangkulan rino lan wengi"..

Begitu pula Shalawat, merupakan media, atau tali hubung emosional antara kita dengan Rasulullah, antara pecinta dan kekasihnya, antara pengikut dan pemimpinnya, antara fans dengan idolanya.

Keterikatan batin dengan Rasulullah adalah suatu hal yang sangat penting dalam beragama, ber-Islam. Dan keterikatan ini disimbolkan dengan perintah bershalawat kepada beliau, sebagaimana Rasulullah saw seringkali perintahkan para sahabat untuk bershalawat.. bahkan uniknya, Shalawat sendiri menjadi salah satu unsur lengkapnya ibadah Shalat.. tanpa Shalawat, tidak ada Shalat..

Sholluu 'alan Nabii Muhammad!

Namun, jika kita berpijak pada pengertian dasar Shalawat, yakni "Hubungan Emosional dengan Rasulullah", maka kita akan menemukan suatu pemahaman, bahwa bershalawat itu tidak hanya dengan shighot lisan, tetapi juga dengan segala tindak laku perbuatan yang berjiwa Rasulullah.. semangat meneladani ajaran kemanusiaan beliau..

Jiwa kedamaian, sebagaimana beliau rela melepaskan embel-embel "utusan Allah" dalam perjanjian Hudaibiyah demi kebersamaan dan stabilitas.. jiwa kasih sayang, jiwa kejujuran, jiwa tanggung jawab, jiwa kemanusiaan, jiwa keadilan, jiwa kegigihan, jiwa perjuangan, jiwa pendidikan, jiwa segala hal positif yang ada di muka bumi.

Dan dalam hemat saya, shalawat jenis ini ('amali, praktek) jauh lebih butuh untuk disemarakkan di samping shalawat lisan yang jelas-jelas sudah mentradisi dalam keberagamaan Umat Islam Indonesia.

Jika saja, shalawat lisan serta merta diikuti dengan shalawat 'amal oleh puluhan ribu massa yang hadir Maulid Nabi Muhammad, tentu sebagian besar permasalahan masyarakat kita akan mudah terselesaikan. Entah itu kemiskinan, kebodohan, anarkisme, kekerasan dalam rumah tangga, bahkan korupsi sekalipun. Entah itu perlahan, cepat atau lebih cepat lagi.

Inilah, seyogyanya kita yang mengaku kaum Sunni, khususnya sebagai para penganjur Shalawat, khususnya lagi yang cinta menyemarakkan Maulid Nabi Muhammad saw., jangan hanya berhenti pada anjuran untuk memperbanyak shalawat secara lisan saja.. dengan iming-iming fadhilah inilah itulah.. ya memang itu baik... namun alangkah lebih baik lagi jika kita juga menebarkan semangat kedamaian antar manusia, semangat tolong-menolong, semangat pembangunan moral, semangat kerja keras, dan segala hal dalam tataran sosial yang sekiranya bisa membahagiakan hati Baginda Nabi Muhammad saw.

Itulah sejatinya Hubungan sejati!

Bayangkan, jika kita hadir suatu perhelatan shalawat, beratus-ratus kali shalawat kita dendangkan, atau lebih tepatnya kita nyanyikan, sampai suara serak misalnya, sebagai bukti cinta kepada Rasulullah, menggembirakan hati beliau..

Tetapi di saat yang sama atau setelahnya, tetangga miskin di sebelah kita tidak kita hiraukan, hubungan dengan orang tua atau saudara tidak harmonis, atau kelompok di seberang sana kita bacok dan teror.. apakah Rasulullah saw tetap akan senang?

Ah, saya teringat ucapan Syaikh Nawawi Banten, beliau dhawuh begini, bahwa inti perintah dan larangan di dalam al-Quran bermuara pada dua hal saja, yakni Harmonis bersama Allah dan Harmonis dengan Sesama Manusia.

Padahal jika dua hal ini kita bandingkan, maka kita akan temukan, bahwa Al-Quran membicarakan ibadah secara sosial lebih banyak dibandingkan ibadah mahdhah antara manusia dengan Allah.. ya, begitulah faktanya, ibadah sosial diatur di dalam al-Quran untuk menciptakan keharmonisan hubungan kita dengan manusia yang lain.

Bahkan tidak hanya sesama manusia, namun juga sesama makhluk Allah yang lain, semua yang ada di langit dan bumi, alam sekitar kita, hutan, gunung, sungai, laut, udara dan segalanya.

Jadi intinya, yang ingin saya "capslock-bold-italic-underlined" dalam tulisan porak poranda ini hanyalah tiga kata; HUBUNGAN, SOSIAL dan CINTA. Yang jika saya perpanjang sedikit menjadi kalimat;

"Bershalawat kepada Rasulullah saw. merupakan jalinan HUBUNGAN emosi kita dengan beliau, sehingga tumbuh dalam hati kita semangat meneladani beliau, dalam hal ibadah dan kepekaan SOSIAL sesama makhluk Allah, berdasarkan semangat rahmatan lil 'alamin, alias CINTA Kasih."

Nah betapa indahnya kan...

Sebagai penutup, saya teringat ketika as-Sayyid Mundzir bin Fuad al-Musawa menyampaikan salah satu hadits Rasulullah dalam Shahih Bukhari yang mencitrakan kasih sayang beliau bahkan kepada alam sekitar, Rasulullah saw dhawuh;
"Gunung Uhud mencintai kami dan kami mencintai Gunung Uhud."

Coba perhatikan, terlepas dari apa makna terdalam beserta asbabul-wurud dari hadits ini, saya membayangkan bagaimana kiranya reaksi kita jika hadir di hadapan Rasulullah saat beliau menyatakan ungkapan cinta itu? bagaimana sikap kita kemudian kepada Gunung Uhud? kalau dia rimbun, tentu kita tak rela ia digunduli sehingga mengakibatkan banjir.. kalau dia kering, tentu kita akan segera menghijaukannya agar tak terjadi kebakaran hutan.. kalau dia mengandung mineral berharga, tentu kita tak kan 'semblothongan' menambangnya hingga merusak ekosistem..

Kalau dia terkena musibah wedhus gendhel, tentu kita segera merenovasi dan menanaminya agar produktif kembali.. Kenapa? karena kita mencintainya, karena Rasulullah saw pun mencintainya, karena kita ingin mempererat Hubungan Cinta kita dengan Rasulullah, iya kan? inilah sejatinya Shalawat! Semangat Rahmatan Lil 'Aalamiin.. Cinta Kasih bagi alam semesta raya..

Ah betapa baik dan indah Shalawat itu...
Mari Bershalawat, Sholluu 'ala Sayyidinaa Muhammad!
dan Mari Membumikan Shalawat :-)
---

Kemesraan Para Wali dengan al-Quran

KISAH 1; MEMBACA
Kisah ini saya denger dari Al-Ustadz Al-Habib Ahmad bin Novel bin Jindan di majelis Al-Fachriyyah beberapa bulan lalu... beliau cerita, bahwa Habib Alwi bin Ali Al-Habsyi (Solo) pernah berkunjung ke tempatnya Habib Ahmad Al-Muhdlor di Seiwun...

dan setiap kali Habib Alwi makmum shalat jahriyyah (magrib, isya atau shubuh) kepada Habib Ahmad, Habib Alwi tidak membaca fatihah sebagaimana yang diamalkan dalam madzhab Imam Syafi'i... alasannya;

"Ketika saya bermakmum kepada Habib Ahmad, saya ikut pendapat Ulama yang tidak mewajibkan membaca Fatihah bagi makmum. Karena bacaan (qiroat) Habib Ahmad adalah QIROAT BARZAKHIYYAH, yang sangat menyentuh hati..."
al-Habib Alwi bin Ali bin Muhammad al-Habsyi, Solo


Maksudnya QIROAT BARZAKHIYYAH itu seakan-akan beliau yang membaca Quran pernah berada di alam Barzakh, sehingga pembacaannya TERAMAT SANGAT khusyu, haqqul-yaqin, dan membuat setiap orang yang mendengarnya 'gemredek'.

KISAH 2; MENYIMAK
Kisah yang lain seperti yang diceritakan oleh temen santri Pondok Pesantren Al-Falah, Ploso, Kediri. Bahwa Al-Mukarrom Kyai Hamim Djazuli alias Gus Miek sudah terkenal 'aneh' dan 'nyeleneh' sejak kecil...

Namun, seaneh-anehnya beliau, Gus Miek kecil paling betah duduk berlama-lama, berjam-jam, 'hanya' untuk menyimak bacaan Al-Quran. Padahal usianya masih remaja. Bahkan beliau sudi 'mbayari' rokok, jajan dan kopi bagi santri yang mau membacakan Al-Quran untuk beliau...
Gus Miek, Ploso

Gus Dur pernah mengungkapkan, "Tuhan tidak perlu dibela, karena Dia tidak butuh dibela.. Tapi belalah hamba-hamba Tuhan yang teraniaya..."




Tidak ada komentar:

Posting Komentar