Rabu, 06 Juni 2012

Ibnu Atha’illah as-Sakandari

Pengosongan Diri

Posted: April 10, 2012 in Tentang Gus Dur
Tags: , , ,
0
 
 
 
 
 
 
Rate This

Gus Dur mengutip Ibnu Atha’illah as-Sakandari: “Idfin wujûdaka fî ardhi al-humûl. Famâ nabata mimmâ lam yudfan lâ yatimmu natâ’ijuhu (tanamlah keberadaan dirimu di tanah yang rendah/tidak dikenal, sebab sesuatu yang tumbuh dari sesuatu yang tidak ditanam tidak akan sempurna buahnya)” (Ibnu Atha`illah as-Sakandari, al-Hikâm, hikmah No. 11).

Gus Dur sering mengutip perkataan emas itu dari mahaguru tarekat Syadziliyah, Ibnu Atha`illah as-Sakandari. Gus Dur sering mengutipnya, di antaranya dalam wawancara dengan Radio 68 H Jakarta/acara Kongkow Bareng Gus Dur. Saya juga menemukan pengakuan dari KH. Husein Muhammad dalam tulisan Matahari Telah Pulang: Merenungkan Sufisme Gus Dur (dalam Gus Dur Bertahta di Sanubari, hlm. 175), tentang untaian emas itu sering dikemukakan Gus Dur. Saya juga mendengar dari penuturan anaknya, Inayah Wahid di dalam acara “Simposium Kristalisasi Pemikiran Gus Dur” di Jakarta tanggal 16-17 November 2011, bahwa Gus Dur juga sering mengungkapkan kata-kata itu.
Ibnu Atha`illah as-Sakandari nama lengkapnya biasa dipanggil dengan terhormat, Tajuddin  wa Tarjuman al-`Arifin Abu al-Fadhl Ahmad bin Muhammad bin `Abdul Karim  bin `Abdur Rahman  bin `Abdullah bin Ahmad bin `Isa bin al-Husain bin `Atha`illah al-Judzami al-Maliki as-Sakandari ash-Shufi. Dia oleh Ibnu Farhun dalam ad-Dîbâj disebut sebagai:  “Seorang imam yang menjadi juru bicara tarekat Sadziliyah”. Di antara beberapa karangannya adalah: at-Tanwîr fî Isqât at-Tadbîr, Lathâ’if al-Minân fî Manâqib asy-Syaikh Abû al-`Abbâs wa Syaikhihi Abî al-Hasan, Miftâh al-Falâh, Tâj al-`Arûs dan al-Hikâm.
Ibnu `Atha`illah ini adalah orang yang dianggap berjasa teradap tarekat Syadziliah, karena dialah murid Abul Abbas al-Mursy (murid Syaikh Abu Hasan as-Sadzili), yang kemudian menyusun dan mensistematisasikan doktrin-doktrin dan wirid-wirid Sadziliyah. Dia meninggal tahun 709 H. dan dimakamkan di Kairo, tepatnya di Qarafiyah. Makamnya menjadi tempat para peziarah yang besar sampai saat ini.
Gus Dur mengutip kata-kata Ibnu Atha`illah itu, dan berkomentar ketika membicarakan soal doa dan keterkabulannya tergantung keikhlasan dan terserah Tuhan: “Maksudnya, kita harus benar-benar kosong supaya tidak punya keinginan apa-apa. Susahnya, orang berdoa itu kan banyak pengen-nya. Makanya kalau kita berdoa, jangan minta apa-apa, terserah Tuhan saja. Pokoknya yang terbaik menurut Tuhan.” Di sini, Gus Dur memaknai “tanamlah…” dengan “kita harus benar-benar kosong, supaya tidak punya keinginan apa-apa,” dalam menempuh suluk.
Syaikh Hayat as-Sindi al-Hanafi dalam Syarah al-Hikam al-`Atha’iyah (hlm. 12) menyebutkan maksud dari perkataan itu. Kata “tanamlah” maksudnya “wahai para pencari, perbaikilah jalan-jalanmu”. Perkataan “wujudmu di tanah yang tidak dikenal” maksudnya “jadikanlah dirimu seakan-akan tidak membutuhkan sesuatu… dan putuskanlah kekuasaan syahwatmu untuk terkenal dengan pisau yang mematikan…” Dalam penjelasan selanjutnya disebutkan  “tidak sempurna buahnya” adalah “tidak diharapkan hasilnya, karena akan merusakkan sebelum berbuah”.
Kata-kata emas mahaguru tarekat Sadziliyah ini, sangat dalam, indah, dan menggetarkan. “Tanamlah keberadaan dirimu di tanah yang rendah/tidak dikenal”, ibarat yang digunakan bagi seorang yang sedang mencari, seorang penempuh jalan tarekat, agar menanamkan jiwanya, memulai lakunya, dan meniatkan dirinya secara dalam. Seorang penempuh (sâlik), sebaiknya menanamkan dirinya dalam tanah yang rendah, karena dengan begitu akarnya akan kokoh. “Menanam wujud dirinya” ini bukan bermakna leterlek, menanam tubuh ke dalam tanah: tidak demikian. “Menanam diri” di sini adalah memulai laku dengan mengosongkan diri untuk tidak membutuhkan sesuatu kecuali Allah, dan ini akan membuahkan keikhlasan. “Tanah yang rendah” adalah ibarat untuk menunjukkan agar sang penempuh tidak terburu-buru terbius mencari ketenaran, kemasyhuran, kesaktian, dan sejenisnya. “Tanah yang rendah” adalah keadaan diri agar konsentrasi dalam melakukan suluk, dengan tidak usah berkeinginan mencari ketenaran dan sejenisnya.
Keinginan untuk tenar dan kemasyhuran, hanya akan membuahkan ketidaksempurnaan sebuah suluk. Alih-alih akan bisa berhasil dalam melanjutkan suluk-nya, sang penempuh justru akan mendapatkan kerusakan, jauh sebelum tujuannya tercapai. Ketenaran dan kemasyhuran, bukanlah awal, bukan tujuan, dan bukan apa-apa, tidak ada hubungannya dengan kesempuranaan suluk. Keinginan tenar dan kemasyhuran hanya akan menjadikan diri sombong, dan mudah patah, yaitu sesuatu yang karena memang tidak ditanam dengan akar-akar yang kokoh, sedikit saja diterpa angin akan terhempas. Berbeda dengan gunung, meskipun tinggi, tetapi karena tertanam secara kokoh dia tidak akan terhempas. Demikian juga gunung, meski menjulang dan tegak, dia tidaklah diam, tetapi terus bergemuruh dan bergerak. Begitu juga seorang sâlik, menanam jiwa dalam kekosongan dari keinginan kebendaan, seperti ketenaran dan kemasyhuran, bukan berarti diam dan tidak bergerak. “Menanam jiwa dalam tanah yang tidak dikenal” berarti aktivitas dinamis yang penuh disiplin dalam menggembleng diri, melakukan penyucian dan pendalaman diri, penghayatan, dan penyingkapan diri yang tidak kenal lelah.
Begitulah, pengosongan diri akan membuahkah keikhlasan dan akan bisa menjangkau esensi Cahaya Allah, penyatuan perilaku dan sikap-sikap sâlik dengan semaksimal mungkin bisa sesuai dengan energi-energi ilahiyah. Kekosongan diri adalah hilangnya definisi-definsi, atribut, dan pengetahuan terserap dalam kelemahan di hadapan kesadaran terdalam tentang kedigdayaan, kebesaran, dan keperkasaan Tuhan. Dari keterserapan ini menimbulkan kehidupan baru seorang penempuh, tergerusnya pengetahuan ke dalam kefana’ana-kefana’an, mempertanyakan tentang diri, mencari asal dirinya kepada yang ilahi. Pengosongan diri akan berputar-putar menggerus jiwanya sampai hilangnya keinginan-keinginan kebendaan, dan hanya ada satu keinginan menemukan asal dirinya dengan cara menjumpai cahaya-Nya.
Setelah keterserapan dan hilangnya keinginan-keinginan akan muncul kerinduan rohani: awalnya kecil, terus membesar, dan begitu seterusnya sangat membesar. Ketika seorang mengalami kekosongan, yanga ada adalah kehampaan yang digerakkan oleh energi ilahiyah. Seseorang bisa terjatuh karenanya; bisa duduk  berjam-jam, terheran-heran; bisa berjalan terus menerus; bisa saja tubuh terkulai lemas tetapi jiwa bergemuruh hebat, mendodor-dodor; dan lain-lain. Jalaluddin Rumi, seorang yang dianggap sebagai seorang yang mencapai Qutbul Ghauts di zamannya, pernah terjatuh lunglai, dan tidak sadarakan diri ketika ia mengalami kekosongan diri.
Ceritanya, guru pembimbing Rumi yang bernama Syams Tabriz menemuinya. Saat itu Rumi sedang bersama murid-muridnya di universitas di mana dia mengajar teologi di sebuah kelas. Sesosok yang tampak compang camping mengikuti Rumi dan mengikuti di ruang kelas. Dialah Syams Tabriz, yang kelak menjadi guru ruhaninya, dan bertanya kepada Rumi: “Siapa yang lebih besar, Abu Yazid atau Nabi Muhammad?”
Rumi yang melihat pandangan Tabriz menembus jiwanya, kemudian menjawab: “Nabi Muhammad yang lebih besar.” Tabriz kemudian berkata: “Tidakkah Rasulullah berkata: “Kami tidak mengetahui Engkau sehingga Engkau ingin sekali diketahui?” Sementara Abu Yazid berkata: “Betapa besar maqam-ku, kemuliaan tercurah padaku yang agung, yang kedigdayaannya terangkat.”
Tabriz melihat Rumi tidak sanggup menjawab. Tabriz lalu menjelaskan: “Dahaga Abu Yazid terhadap Tuhan telah dipuaskan setelah minum seteguk, tetapi dahaga Nabi tidak pernah terpuaskan, karena dia selalu haus akan air pengetahuan Allah lebih banyak lagi.”
Menemukan dirinya tidak berdaya di hadapan Tabriz, Rumi mengalami kekosongan mencekam dan terjatuh di lantai: menangis hingga hilang kesadarannya, tepat di kaki Tabriz. Ketika Rumi sadar, kepalanya sudah ada di pangkuan Tabriz. Setelah itu kedua orang guru murid itu, akhirnya pergi selama 3 bulan dalam pengasingan. Begitulah, Rumi pun bisa terjatuh dan lunglai tatkala mengalami kekosongan diri, dan sebabnya, setiap orang bisa berbeda-beda. Yang menyamakan hanya satu: ditemukannya keterbatasan pengetahuan nalar dan logika manusia, dan adanya energi ilahi yang menyergapnya yang menghunjam perlunya pengetahuan lain, pengetahuan yang berasal dari cahaya-Nya secara langsung. Munculnya kekosongan diri adalah anugrah.
Orang yang melihat mereka yang sedang mengalami kekosongan diri, akan menemukan perubahan-perubahan dari keberadaan sebeluamnya. Dan ini tidak perlu dipikirkan oleh seorang sâlik, kecuali dengan teguh menyandarkan dirinya kepada Allah: semuanya akan bisa menjadi baik, dengan sabar, teguh, dan disiplin. Pada kondisi ini, biasanya seorang sâlik juga teringat, menimbang-nimbang laku yang bisa dipertahankan dan diingat dari waktu kecil sampai ia mengalami kekosongan diri: memperoleh anugrah pengosongan diri. Ada yang menyebutkan laku “bersikap jujur” (Gus Dur sering sekali menekankan arti penting jujur ini dalam menjalani hidup); ada laku selalu “mendahulukan orang lain” (Gus Dur juga sering melakukan ini); dan ada juga yang selalu merasa berdosa bila melakukan maksiat, sebelum akhirnya ia benar-benar bertaubat; dan lain-lain.
Kerinduan rohani menjadikan sang penempuh mencari seorang guru/mursyid, bagi mereka yang tidak memiliki keberanian dan tidak mendapatkan bimbingan rohani dari para guru besar secara rohani; atau dia akan didatangi oleh guru rohani lewat mimpi dan isyarat-isyarat, lalu melakukan disiplin diri sehingga sang sâlik harus bisa mengatasi rasa takut dan godaan-godaan, yaitu mengusai dirinya. Ibnu `Arabi dalam Risâlah al-Anwâr menyebutkan demikian: “Demi Allah, janganlah memasuki penyendirian kecuali jika Anda tahu maqam Anda, dan ketahuilah kekuatan Anda kaitannya dengan imajinasi. Sebab jika imajinasi Anda menguasai Anda, maka tidak ada jalan menuju penyendirian, kecuali melalui bimbingan Syaikh yang cerdas dan insaf. Jika imajinasi Anda terkendali, maka masukilah penyendirian dengan tanpa rasa takut” (hlm. 55.).
Dari kekosongan diri, sang sâlik akan dan kemudian berada dalam hidup baru, yang diikuti dengan disiplin diri ber-suluk. Di sini, pengosongan diri bisa dimaknai sebagai adanya pemisahan hidup lama dan memulai hidup baru setelah adanya keterserapan ke dalam energi ilahi yang menggetarkan jiwanya dan mengantarkannya kepada pencarian akan cahaya-Nya. Keterserapan ini adalah permualaan sebelum adanya fana’ dan sebelum melakukan dispilin dari maqam ke maqam berikutnya. Keterserapan setelah melakukan disiplin diri dan setelah fana’ adalah penyingkapan, dan ini berbeda dengan kekosongan diri yang pertama. Meski begitu, ada juga seorang yang diberkati Allah mengalami keterserapan energi ilahi sebelum melakukan disiplin dari maqam ke maqam, dan Ibnu Arabi adalah salah seorang yang diberi anugrah itu.
Banyak jalan menuju pengosongan diri, sebanyak Allah menunjukkan seorang penempuh untuk mengalaminya. Kalau seseorang masih menganggap bahwa pengetahuan yang diperoleh dari membaca buku-buku, menulis, dan logika  sebagai pengetahuan sejati dan menyeluruh, mampu menyelesaikan persoalan dengan menihilkan “Yang Ghaib dari yang Terghaib”, maka dia belum akan menemukan kekosongan diri. Kalau seseorang masih melakukan eksperimen-aksperimen logis, dan kemudian menemukan keajaiban hasil-hasilnya, dan menganggap semua itu sebagai keagungan akal dan keabadiannya tanpa ada kesadaran campur tangan Tuhan, kekosongan diri tidak akan muncul. Kalau seseorang masih menuruti semua keinginan kebendaan sehingga tidak ada waktu untuk menemukan sesuatu yang berharga untuk mempertanyakan asal rohaninya, di situ kekosongan diri tidak akan muncul. Demikian juga, kalau seseorang menganggap masih kuat, dan tidak menyadari ada batas kelemahannya, tentu belum akan bisa menemukan kekosongan diri.
Sebaliknya pengosongan diri bisa ditemukan dan dimulai, kalau seseorang bisa menemukan pengalaman-pengalaman yang menggugah rohani dan membuatnya berpikir bahwa manusia ada batasnya; buku-buku, logika, dan tulisan ada batasnya; ilmu-ilmu politik, ekonomi, sosiologi, dan sejenisnya ternyata terbatas, seperti yang ada di Indonesia, tidak bisa bekerja menyelesaikan masalah-masalah riil kebangsaan kita; dan tidak sedikit mereka yang mengalami sakit tertentu, dan kemudian bisa sabar sampai memperoleh penyelamatan dari Sang Suwung (Allah) lalu timbul kesadaran adanya kedigdayaan Allah. Dari kelemahan dan keterbatasan itu, kemudian  muncul perenungan mendalam: adakah semua bisa diselesaikan manusia? Adakah semua keinginan manusia bisa dilaksanakan sedetil mungkin dan sesempurna mungkin, bahkan terhadap mereka yang kaya raya sekalipun? Dan banyak lagi pertanyaan lain yang mempertanyakan asal rohaninya. Dari sudut ini, kekosongan diri adalah anugrah, setelah terjadinya kecamuk dalam perjalanan hidupnya; setelah terjadi panas dan hujan silih berganti menempa hidupnya; dan begitu seterusnya.
Seorang kawan mengabarkan, sangat bersyukur bahwa selama ini, dia melakukan perlawanan dan menentang Tuhan, dan pada umur 30-an tahun setelah mengalami masa pancaroba, gempa, musim gugur, dan segala cuaca diri akhirnya dianugrahi diri yang ingat dan lari kepada-Nya. Andai sampai mati tidak juga mengalami itu, sungguh, dia merasa hidupnya merugi, karena yang dia tahu hanya pengetahuan berdasarkan nalar dan logika yang spekulatif, dan tidak menambah tenang hidupnya. Penyingkapan-penyingkapan yang dialaminya kemudian, menambahkan kokohnya iman dan tauhidnya kepada Tuhan. Di sini ada situasi di mana masa pancaroba diri dan berbagai jenis cobaan, telah dilalui, anugrah kekosongan diri sungguh menghunjam dan menyentuh rohaninya.
Sebelum seseorang mengalami pengosongan diri yang hebat sebaiknya tidak usah terburu-buru ingin menempuh dunia suluk. Kalau ini ditempuh, tentu seseorang hanya akan berhenti untuk mencari kemasyhuran, ketenaran, kesaktian, kekayaan,  dan atribut-atribut kebendaan, sudah pasti akan tertipu, gagal, dan tujuannya akan rusak. Ketika sudah terkenal, sementara akar-akarnya tidak kokoh, seseorang akan menemukan ketenarannya, tetapi ketenarannya itu tidak akan abadi, semu semata, dan setelah itu akan menemukan kekecewaan, yang sebenarnya adalah kegagalan dalam ber-suluk, karena ketenarannya itu akan menghacurkan sang sâlik sendiri.
Hal ini berbeda, bila seseorang menanam dirinya di tanah yang rendah sehingga akar-akar jiwanya sangat kokoh. Kalau kemudian orang ini terkenal dan masyhur, maka dia tidak lekang oleh waktu, tidak takut oleh cercaan, akan terus berjuang meskipun  terus mengalami rintangan, dan akan tetap tegar, meskipun tentu saja kadang rasa takut menghinggapi dan menyelinap menggodanya. Begitulah, karena Gus Dur telah melewati fase pengosongan diri, maka sang guru telah menanam dirinya dengan akar yang kokoh, dan dengan begitu meskipun situasi sosial, politik, ekonomi, dan komunitasnya berguncang-guncang dan mendodornya, sang guru tetap tegar. Ibarat gunung, meski menjulang tetapi akarnya kokoh karena terpatri ke dalam bumi; dan energi bumi yang adalah bagian dari cahaya-Nya telah menyerap sang guru.
Sementara kebanyakan orang mengalami pengosongan diri menjelang ajal, ketika sang penjemput maut akan tiba. Dan, bahkan yang lain tidak meneruskan setelah ada gejala-gejala pengosongan diri, karena kemudian masih disibukkan oleh keinginan-keinginan kebendaan. Begitulah yang namanya manusia: sebuah eksistensi yang lemah, tetapi mengaku kuat dan sombong; dan terutama karena gengsi status sosial, kekayaaan, dan sejenisnya, dia malu mengakui bahwa sebenarnya dia sangat lemah. Tetapi Allah memberikan kebebasan kepadanya untuk tetap percaya atau tidak, faman syâ’a falyu’min faman syâ’a falyakfur.
Pengosongan diri ini, sebuah syarat penting untuk mencapai dua hal: menjangkau alam esensi dari yang al-Haqq; dan untuk mendapatkan akses ke sifat-sifat ilahi yang hanya bisa dicapai dengan mencapai fanâ’ (keterleburan) terlebih dulu. Dengan pengosongan diri itu, dimulai tapak demi tapak dan daki mendaki dalam berbagai maqâmât atau laku spiritual. Di sini, pengosongan diri sebagai syarat munculnya gemuruh jiwa yang kemudian membajakan tekadnya melakukan penyucian diri lahir dan batin untuk menjangkau esensi ilahi, lagi-lagi, harus dibedakan dengan keterserapan dan lebur ke dalam cahaya ilahi  setelah mengalami fanâ’. Yang terakhir ini, terjadi setelah berbagai maqâmât dilakukan; dan pengosongan diri yang pertama adalah menanam jiwa dalam tanah yang rendah, permulaan menjelang pendakian maqâmât, yaitu melepaskan keinginan-keinginan kebendaan, sehingga rongga batin sang sâlik memiliki pondasi dan akar-akar yang kokoh.
Oleh karena itu, sebaik-baik dalam pengosongan diri, sebagai permulaan seseorang perlu menyadari adanya Sang Suwung, Sang Ada yang tidak terjangkau, dan tidak bisa didekati dengan indra-indra biologis, dan kemudian kondisinya terserap ke dalam kehampaan, kekosongan, dan kesuwungan. Setelah itu seseorang perlu menyandarkan disiplin ber-suluk kepada-Nya dan dia akan memiliki fondasi fondasi yang kokoh, dan akan mencapai hasil yang mencerahkan. Oleh karena itu, Ibnu Atha’illah selain berkata dalam kalimat-kalimat yang dikutip di awal tulisan ini yang sering dikemukakan Gus Dur,  dia juga mengemukakan: “Sesungguhnya  bidâyah (permulaan) itu bagaikan cermin yang memperlihatkan nihâyah (puncak akhirnya). Dan siapa yang bidâyah-nya selalu bersandar kepada Allah, akhirnya juga akan sampai kepada-Nya.” (Kearifan No. 276, dalam al-Hikâm).
Tentang permulaan, sudah jelas, perlu adanya pengosongan diri sehingga keberangkatan menjadi terserap untuk menjangkau esensi ilahi, karena tidak dibelenggu oleh keinginan-keinginan kebendaan, kemasyuhuran, dan ketenaran, yang justru akan menjadi hijâb dan penglulu. Sementara “orang yang sampai” adalah mereka yang telah menyaksikan kebenaran ilahi, atau menyaksikan manifestasi cahaya yang memancar dari Sang Maha Indah yang disaksikan melewati tahap demi tahap, sampai mengalami tauhîd biwujûd al-Haqq. Begitulah, kalau penyandaran kepada-Nya dilakukan dalam permulan dan dalam semua tahapan laku suluk-nya, akhirnya juga akan sampai kepada-Nya. [nur khalik ridwan]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar